Seorang lansia di Tokyo menangis saat robot ERICA peluk dia sambil berucap, “Saya pahami kesepianmu.” ERICA, karya Universitas Kyoto, punya emosi buatan yang baca ekspresi wajah, nada bicara, dan detak jantung manusia. Teknologi ini revolusi interaksi manusia-mesin, dipakai untuk terapi hingga hiburan.

Cara Kerja: Sensor & Algoritma Emosi

Sensor kulit di wajah robot deteksi perubahan suhu dan mikro-ekspresi. Algoritma Affective Computing analisis suara dan gerakan tubuh, pilih 50 respons emosi dasar. Saat deteksi kesedihan, robot keluarkan air mata dari hidro-gel dan turunkan nada suara.

Uji Coba Sukses: Dari Terapi ke Hotel Mewah

RS Jiwa Boston pakai robot MINDbot untuk terapi anak autis—65% pasien membaik setelah 3 bulan. Hotel di Dubai gunakan AURA sebagai resepsionis yang bisa marah pada tamu kasar dan tersenyum saat terima tip.

Teknologi Emosi Sintetis

Sistem Neural Emotional Engine hubungkan AI dengan hormon buatan. Saat “senang”, robot lepas dopamin sintetis, gerak dinamis, dan pupil melebar. Saat “sedih”, cairan biru di “darah” robot buat simulasi kulit pucat.

Tantangan: Etika & Kerentanan Data

Psikolog Harvard peringatkan risiko ketergantungan emosional, terutama pada lansia dan anak. Kasus di Seoul hebohkan publik saat pria nikahi robotnya. Kebocoran data di EmpatiX pernah ekspos preferensi politik 2 juta pengguna.

Masa Depan 2025: Robot Emosional di Rumah

Startup EmotionAI targetkan robot seperti KIZUNA terjangkau untuk rumah tangga pada 2025. KIZUNA bisa ingat ulang tahun pemilik dan “marah” jika diabaikan. Dengan harga proyeksi Rp75 juta/unit, robot ini potensi gantikan peran hewan peliharaan.