Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, mengguncang rapat kerja di Komisi VII DPR pada Selasa (4/6/2024). Di depan 30 anggota dewan, ia mengeluarkan sebotol berisi air dengan serpihan mikroplastik, lalu meneguknya sambil berseru: “Ini contoh air sumur warga di Jakarta Utara! Kita minum racun plastik setiap hari!” Ratusan staf dan jurnalis yang hadir terdiam, sebelum riuh tepuk tangan memecah ruangan.

Siti sengaja membawa sampel air dari daerah Marunda, Jakarta Utara, tempat tim Kementerian LHK menemukan 12.000 partikel mikroplastik per liter—50 kali di atas ambang aman WHO. “Analisis laboratorium kami menunjukkan, 78% partikel itu berasal dari kemasan sekali pakai dan tekstil sintetis,” paparnya sembari menunjukkan grafik interaktif di layar.

Aksi tersebut langsung memicu reaksi. Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengusulkan revisi UU Pengelolaan Sampah untuk melarang plastik sekali pakai di 5 kota besar mulai 2025. “Kami akan bahas draft ini pekan depan,” janjinya. Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Kemasan Plastik Indonesia (APKPI) mengecam aksi Siti sebagai “dramatisasi tidak ilmiah”.

Tak tinggal diam, Siti mengajak 15 anggota DPR ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang keesokan harinya. Di sana, mereka menyaksikan langsung tim peneliti LHK mengambil sampel telur ayam kampung yang mengandung ftalat—zat kimia plastik pemicu kanker. “Ayam ini makan cacing di tanah terkontaminasi. Manusia yang konsumsi telurnya akan menimbun racun serupa,” tegas Dr. Budi Santoso, ahli toksikologi LHK.

Aksi nyata langsung menyusul. Kementerian LHK menggelar operasi pasar kemasan ramah lingkungan di 10 pasar tradisional DKI Jakarta. Pedagang sayur di Pasar Senen, misalnya, kini mengganti kantong kresek dengan daun pisang kering. “Kami subsidi 100% biaya kemasan alternatif,” ujar Dirjen Pengelolaan Sampah KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, sambil membagikan tas anyaman eceng gondok ke para ibu.

Di media sosial, tagar #MakanPlastikSiti menjadi trending dengan 850.000 tweet. Warganet membagikan foto air keruh di daerah mereka, mendesak pemerintah daerah bertindak. Namun, pengusaha UMKM di Bali protes: “Kami butuh plastik untuk kemasan oleh-oleh. Pemerintah harusnya beri solusi, bukan larang!”

Menyikapi pro-kontra ini, Siti menggelar konferensi pers virtual. “Target kami bukan melarang plastik, tapi mengubah pola konsumsi. Setiap 30 detik, Indonesia menghasilkan sampah plastik setara berat 1.000 gajah. Ini darurat!” serunya.

Sejauh ini, 12 kabupaten/kota telah menandatangani komitmen pengurangan sampah plastik 70% hingga 2030. Tapi jalan masih panjang: data KLHK mencatat, baru 9% masyarakat yang rutin memilah sampah. Aksi teatrikal Siti mungkin kontroversial, tapi setidaknya berhasil membuat publik dan politisi langsung menelan bukti krisis yang selama ini diabaikan.