Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam kunjungan resmi ke Moskow. Pertemuan ini bertujuan memperkuat kerja sama bilateral, khususnya di bidang pertahanan dan ekonomi. Langkah ini semakin menegaskan kedekatan Myanmar dengan Rusia di tengah tekanan internasional terhadap junta yang berkuasa sejak kudeta 2021.
Junta Myanmar terus mencari dukungan dari sekutu non-Barat, terutama Rusia, yang menjadi pemasok utama senjata dan peralatan militer bagi negaranya. Dalam pertemuan tersebut, Min Aung Hlaing dan Putin membahas peningkatan perdagangan, investasi energi, serta kerja sama teknologi pertahanan. Kedua pemimpin juga menegaskan komitmen untuk memperluas hubungan strategis dalam menghadapi sanksi ekonomi dari negara-negara Barat.
Selain membahas pertahanan, mereka juga mendiskusikan upaya memperdalam kerja sama di sektor energi. Rusia berencana membantu Myanmar dalam pengembangan infrastruktur minyak dan gas, termasuk transfer teknologi di sektor energi nuklir sipil. Myanmar berharap kerja sama ini dapat memperkuat ekonominya yang terpuruk akibat sanksi internasional dan ketidakstabilan politik dalam negeri.
Kunjungan Min Aung Hlaing ke Rusia bukan yang pertama. Sebelumnya, ia beberapa kali bertemu dengan pejabat tinggi Rusia untuk membahas kerja sama strategis. Rusia, yang juga menghadapi tekanan dari Barat akibat perang di Ukraina, semakin aktif memperluas kemitraan dengan negara-negara yang berseberangan dengan kebijakan Barat.
Kedekatan Rusia dan Myanmar menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas internasional, terutama karena junta Myanmar terus melakukan tindakan represif terhadap oposisi dan rakyat sipil. Meskipun begitu, hubungan kedua negara tampaknya semakin erat, menunjukkan bahwa Myanmar tetap bergantung pada Rusia untuk bertahan di tengah isolasi global.