thebignoisefestival.com – Pernahkah Anda mendengar ungkapan seperti “Tetap semangat!” atau “Semua akan baik-baik saja!” saat menghadapi masa sulit? Meskipun dimaksudkan untuk memotivasi, pesan-pesan ini bisa berubah menjadi toxic positivity jika digunakan tanpa memahami kondisi emosional seseorang. Toxic positivity terjadi ketika seseorang dipaksa untuk selalu berpikir positif dan mengabaikan emosi negatifnya.
Masalah utama dari toxic positivity adalah bahwa hal ini membuat seseorang merasa bersalah karena memiliki perasaan yang dianggap “buruk.” Padahal, emosi seperti kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan adalah bagian alami dari kehidupan yang perlu diakui. Menekan emosi ini dapat menyebabkan stres yang lebih dalam dan gangguan kesehatan mental.
Untuk menghadapi toxic positivity, penting untuk mempraktikkan penerimaan emosi. Izinkan diri Anda merasakan kesedihan atau kekecewaan tanpa rasa bersalah. Bicaralah dengan orang yang dapat mendengarkan tanpa memberikan solusi instan. Selain itu, berhenti memaksakan diri untuk terlihat kuat di depan orang lain. Terkadang, mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Menjadi suportif juga berarti menghindari ucapan klise seperti “Tetap positif!” dan menggantinya dengan kalimat yang lebih empatik seperti, “Aku tahu ini sulit. Aku ada di sini kalau kamu butuh teman.” Dengan pendekatan ini, kita bisa menciptakan lingkungan yang penuh pengertian dan lebih sehat secara emosional.