Tahun 2025 menandai babak baru dalam persaingan teknologi antara Amerika Serikat dan China, terutama dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). Kedua negara kini aktif memperkuat ekosistem digital masing-masing demi mendominasi masa depan industri teknologi global.

Amerika Serikat memanfaatkan keunggulan inovasi dan kekuatan perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Microsoft, dan OpenAI. Pemerintah AS mendorong percepatan riset AI sambil memperketat regulasi ekspor chip dan perangkat keras ke China. Langkah ini bertujuan mempertahankan dominasi AS dalam teknologi tinggi dan mencegah transfer kecanggihan ke pesaing utama.

Di sisi lain, China tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu menggelontorkan dana besar untuk mendukung startup dan universitas dalam mengembangkan AI lokal. Perusahaan seperti Baidu, Tencent, dan Huawei aktif menciptakan solusi AI mandiri, termasuk dalam sektor pertahanan, layanan publik, dan keuangan. China juga mempercepat produksi chip dalam negeri sebagai respons atas embargo teknologi dari AS.

Persaingan ini tidak hanya berdampak pada dua negara tersebut, tapi juga memengaruhi geopolitik global. Negara-negara lain kini dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti standar teknologi Barat atau membangun konektivitas dengan sistem buatan China. Dunia bisnis pun ikut terpecah, terutama dalam hal infrastruktur digital, keamanan data, dan hak cipta kecerdasan buatan.

Dengan kecepatan perkembangan saat ini, “perang dingin digital” antara AS dan China diprediksi akan semakin panas. Hasil dari kompetisi ini tidak hanya menentukan siapa yang lebih unggul dalam teknologi, tapi juga membentuk arah kebijakan ekonomi dan keamanan global ke depan.